Sabtu, 22 Desember 2012

Jam'iyah Dzikir Anti Galau

Mengingat semakin menurunnya rasa tawakal umat akan janji Alloh SWT bahwa setiap sesuatu pasti ada sesuatunya, sakit ada obatnya, masaah ada jalan keluarnya, dan jalan keluar yang baik adalah jalan keluar yang di berikan Alloh melalui doa-doa hambanya. Umat masa kini banyak dalam penyelesaian masalah hanya berfikir secara akal saja, akhirnya bila jalan yang di tempuh buntu akan berakibat efek yang buruk,mulai dari ke Galauan jiwa sampai mengakiri jiwa.
Maka dari itu kegiatan Dzikir perlu di lakukan, untuk umat yang awam pastilah banyaknya teman memperngaruhi perkembangan jiwa nya, dari itu semua kegiatan Dzikir Anti Galau hadir di tengah-tengah masyarakat terutama Kediri, di dasari tabarukan dan menyebarkan wirid dzikir dari shohibul ijazah KH. Abdul Malik Ihsan Jampes Kediri yang terangkum dalam isthigotsah YAMISDA kami beserta kawan-kawan membuat suatu kegiatan rutinan di Makam Syech Sulaiman Al Wasil Setono Gedhong Kota Kediri.
Kagiatan yang di lakukan setiap malam selasa di mulai pukul 22:00 Wib ini di dasari niat Tabarukan Guru Kami KH. Abdul Malik Ihsan Jampes Kediri juga tabarukan pada para Auliya'illah khususnya Syech Sulaiman Al Wasil Setono Gedhong.
Acara Inti tentunya Dikir berjama'ah Isthigotsah YAMISDA dan setelah itu di teruskan bincang-bincang kecil sambil ngopi-ngopi dengan niat ngopi ngaji, walaupun terkean santai tapi bila di niati dengan niat ibadah insya alloh mendapat nilai ibadah. Kegiatan Ngopi Ngaji ini alhamdulillah mendapat respon positif dari kalangan remaja.
Acara Jam'iyah Dzikir Anti Galau dan Ngopi Ngaji ini tak lepas dari dukungan para guru terutama para Dzuriyah Shohibul Ijazah KH. Abdul Malik Ihsan,yaitu KH. Agus Ujang Ihsan dan KH. Agus Bahri Abdul Aziz yang memberikan ijzah serta izin dalam mengadakan kegiatan ini. juga Al Ustadz K. Muztain Fattah dan Al Ustadz Hasan bashori yang selalu mendukung perjuangan kami. Semoga kegiatan ini dapat istiqomah dan banyak jama'ah yang barokah. Amien

Jam'iyah Dzikir Anti Galau

Mengingat semakin menurunnya rasa tawakal umat akan janji Alloh SWT bahwa setiap sesuatu pasti ada sesuatunya, sakit ada obatnya, masaah ada jalan keluarnya, dan jalan keluar yang baik adalah jalan keluar yang di berikan Alloh melalui doa-doa hambanya. Umat masa kini banyak dalam penyelesaian masalah hanya berfikir secara akal saja, akhirnya bila jalan yang di tempuh buntu akan berakibat efek yang buruk,mulai dari ke Galauan jiwa sampai mengakiri jiwa.
Maka dari itu kegiatan Dzikir perlu di lakukan, untuk umat yang awam pastilah banyaknya teman memperngaruhi perkembangan jiwa nya, dari itu semua kegiatan Dzikir Anti Galau hadir di tengah-tengah masyarakat terutama Kediri, di dasari tabarukan dan menyebarkan wirid dzikir dari shohibul ijazah KH. Abdul Malik Ihsan Jampes Kediri yang terangkum dalam isthigotsah YAMISDA kami beserta kawan-kawan membuat suatu kegiatan rutinan di Makam Syech Sulaiman Al Wasil Setono Gedhong Kota Kediri.
Kagiatan yang di lakukan setiap malam selasa di mulai pukul 22:00 Wib ini di dasari niat Tabarukan Guru Kami KH. Abdul Malik Ihsan Jampes Kediri juga tabarukan pada para Auliya'illah khususnya Syech Sulaiman Al Wasil Setono Gedhong.
Acara Inti tentunya Dikir berjama'ah Isthigotsah YAMISDA dan setelah itu di teruskan bincang-bincang kecil sambil ngopi-ngopi dengan niat ngopi ngaji, walaupun terkean santai tapi bila di niati dengan niat ibadah insya alloh mendapat nilai ibadah. Kegiatan Ngopi Ngaji ini alhamdulillah mendapat respon positif dari kalangan remaja.
Acara Jam'iyah Dzikir Anti Galau dan Ngopi Ngaji ini tak lepas dari dukungan para guru terutama para Dzuriyah Shohibul Ijazah KH. Abdul Malik Ihsan,yaitu KH. Agus Ujang Ihsan dan KH. Agus Bahri Abdul Aziz yang memberikan ijzah serta izin dalam mengadakan kegiatan ini. juga Al Ustadz K. Muztain Fattah dan Al Ustadz Hasan bashori yang selalu mendukung perjuangan kami. Semoga kegiatan ini dapat istiqomah dan banyak jama'ah yang barokah. Amien

Rabu, 05 Desember 2012

Peninggalan Kanjeng Nbai Muhammad SAW

1. Sorban,tongkat dan jubah Rasulullah SAW
2. Sandal Rasulullah SAW
3. Foot print atau cetak kaki Rasulullah
4. Kamar Rasulullah di bekas rumah beliau di Makkah
5. Mihrab Rasulullah dibekas rumah beliau diMakkah
6. Makam Rasulullah di Madinah
7. Salah satu surat Rasulullah
8.Gamis Rasulullah
9. Gua hira’
10. Tempat kelahiran Siti fathimah RA di Makkah
11. Rambut Rasulullah
12. Busur panah Rasulullah
13. 2 helai rambut Rasulullah
14. Makam Siti Aminah ibunda Nabi setelah digusur paksa
15. Stempel surat Rasulullah
16. Makam Siti Aminah,Siti Khadijah dan Abu Thalib sebelum digusur paksa
17. Makam Rasulullah tahun 1907
18. Makam Rasulullah tahun 1907 sebelum dipagar dengan kuningan
Ini adalah sisa2 Peninggalan/Situs Islam yg sebagian besar telah di hancurkan oleh Kaum Wahbi/Salafi

KYAI PELACUR 2


Sufi Eksentrik: Membina Pelacur
Mbah Sungeb kyai jadhug tapi tasattur (sengaja menyembunyikan kelebihannya). Tak banyak yang mengetahui jati dirinya.
Suatu kali ada acara NU di Surabaya. Kyai Bisri Mustofa mengajak sejumlah kyai Rembang untuk berangkat berombongan dengan mobil miliknya. Mbah Sungeb ingin ikut tapi tak berani ngomong sendiri, maka ia minta tolong salah seorang kyai itu untuk mengusulkannya kepada Kyai Bisri.
“Sungeb kok dinaikkan mobil segala”, jawab Mbah Bisri, “Nggak usah!”
Rombongan pun berangkat tanpa Mbah Sungeb.
Sebagian kyai merasakan ganjalan di hati: Kyai Bisri kok pelit sekali, ditambahi nunutan satu orang lagi saja kok nggak mau, padahal masih ada tempat. Sebagian lainnya menduga-duga: apa ya, kesalahan Mbah Sungeb, kok sampai sebegitunya Kyai Bisri menyingkurinya?
Sampai di tempat acara dan kyai-kyai turun dari mobil, Mbah Sungeblah orang pertama yang menyambut kedatangan mereka!
Mbah Sungeb memang aneh. Ketika Pemda Rembang membuka lokalisasi pelacuran, Mbah Sungeb yang sudah sepuh justru rajin datang ke tempat itu. Nongkrong di warung-warungnya, ngobrol dengan perempuan-perempuannya. Orang-orang menggugatnya, Mbah Sungeb tak bergeming.
“Terserah aku mau dikatai apa… mau dibilang kyai begenggek (pelacur) ya silahkan saja”, begitu katanya, “orang-orang itu merasa dirinya lebih baik ketimbang begenggek. Padahal kalau begenggeknya tobat tapi yang ngrasani (mempergunjingkan) begenggek tidak tobat…?”
Tak lama sesudah Mbah Sungeb wafat, lokalisasi pelacuran itu ditutup.
***
Di Pasuruan, ada Kiyai Sholeh (Kiyai Muhammad Sholeh Bahruddin), pengasuh Pesantren Ngalah, Sengoagung, Purwosari. Kiyai Sholeh terkenal dengan banyu yasinan-nya, yaitu air yang sudah disuwuk dengan bacaan Surah Yasin. Banyu yasinan itu merupakan “srana generik”. Siapa pun yang datang dengan hajat apa pun, ia beri seplastik banyu yasinan diiringi doa ala kadarnya agar terkabul hajatnya.
Ketika seorang pelacur datang minta penglaris, banyu yasinan pun beliau sodorkan begitu saja. Tanpa banyak tanya, tanpa nasehat yang nyinyir, apalagi mencela.
Siapa sangka, beberapa waktu kemudian si pelacur datang lagi.
“Saya ini yang dulu datang kesini, Mbah”
“Oh? Sudah pernah kesini?”
“Iya”
Mbah Sholeh manggut-manggut.
“Bagaimana?”
“Sebenarnya suwuknya Simbah itu manjur sekali… tapi sekarang saya minta dicabut saja, Mbah”.
“Lho?”
“Saya ndak kuat lagi, Mbah… saya mau berhenti saja. Gara-gara suwuknya Simbah itu, berminggu-minggu saya ndak bisa istirahat sama sekali…. sampai hancur badan saya…”

suwun : http://ayikngalah.wordpress.com/2011/10/14/kyai-sholeh-bahruddin-sufi-eksentrik/

KYAI PELACUR



Kyai Khoiron, sudah populer sebagai kiainya para pelacur di Surabaya.
Sehari-hari ia menjadi guru ngaji, konsultasn psikhologi dan bapak, kakak, sahabat yang sangat akrab dengan gemuruh jiwa para pelacur yang bergolak. Dua puluh tahun silam, diam-diam ia dirikan sebuah pesantren di komplek pelacuran terbesar di Surabaya. Dan saat ini ada tujuh ratus anak-anak pelacur itu nyantri di pesantrennya.

Jika senja mulai tiba, gincu-gincu mengoles bibir para pelacur itu, dengan segala sapaan manja pada hidung belang, sementara suara musik keras mendentang memenuhi komplek pelacuran itu, di sudut komplek pelacuran itu terdengar suara bocah-bocah mengaji, meneriakkan halawat Nabi dan berzanji. Keduanya berjalan damai.“Saya tidak pernah melarang mereka melacur. Saya juga tidak memarahi mereka. Saya hanya menyiapkan ruang jiwa mereka. Sebab mereka melacur paling lama sepuluh tahun. Setelah? Mereka pasti berhenti. Mereka perlu kesiapan mental, keimanan dan sikap optimis kepada Tuhan,” katanya.“Pesantren anda ini?”“Memang, pesantren ini saya konsentrasikan untuk membina anak-anak mereka yang tak berdosa. Mereka harus tumbuh dengan jiwa yang merdeka, tanpa konflik, tanpa masa lalu dan trauma-trauma.”

***

Lain lagi dengan seorang Kiai di dekat kota Madiun.

Kiai Madun, sudah dikenal sebagai seorang kiai Thariqat dengan jama’ah ribuan. Suatu hari ia tertimpa gejala psikhologi yang begitu aneh: Rasa takut mati yang berlebihan. Selama enam bulan ia terus menerus menangis, seakan-akan Malaikat Maut membuntutinya. Ia juga heran kenapa harus takut mati? Saking takutnya, Kiai Madun mendatangi guru Mursyidnya. Dengan serta merta gurunya menyambut dengan sambutan yang cukup kontroversial. “Soal penyakitmu itu gampang obatnya. Mulai besok kamu pergi saja setiap hari ke komplek pelacuran!”“Bagaimana pak Kiai ini, kok saya malah harus main-main dengan pelacur. Apakah ini tidak bertentangan dengan syari’at?” kata Kiai Madun dalam hatinya.

Belum sempat ia meneruskan fantasinya, gurunya sudah memotong:“Dun!, Lihatlah mulutku ini!”Begitu melihat mulut gurunya, yang tampak adalah lautan luas tak bertepi. Kyai Madun hanya terperangah. Diam-diam ia menyesal. Kenapa soal-soal hakikat kehidupan harus ia pertanyakan lewat syariat kepada gurunya? Diam-diam pula hatinya menangis. Tapi juga muncul rasa ngeri, kenapa harus main-main dengan pelacur?Tapi Kyai Madun tidak mau membantah perintah gurunya.

Pagi-pagi Kiai ini sudah menghilang dari rumahnya. Ia cari komplek pelacuran yang jauh dari daerahnya. “Jalan penyembuhan” ini ia lakukan hampir setiap hari, sampai pelacur seluruh komplek itu kenal benar dengan Kyai Madun. Bahkan kadang, seharian penuh ia berada di tengah para perempuan penghibur itu, sambil mengingat-ingat, apakah rahasia dibalik perintah gurunya itu.Suatu pagi, ketika ia datang ke komplek langganannya, tiba-tiba ada kakek-kakek tua, baru saja keluar dari sebuah kamar pelacur. Ia sangat kaget, melihat kakek yang sudah uzur, dan mendekati ajal itu, masih sempat ke komplek pelacuran. Bahkan dengan wajah berseri, riang gembira, layaknya anak muda, sang kakek penuh percaya diri layaknya anak muda.“Iya, ya. Kakek ini sudah tua renta, kok tidak takut mati. Bahkan ia jalani kehidupan tanpa beban. Saya yang masih muda kok takut mati. Kualitas iman macam apa yang saya miliki ini?” katanya Kiai Madun dalalam hati.Dengan wajah terangguk-angguk, Kiai Madun merasa mendapat pelajaran dari Kakek tua renta itu. Dan seketika pula rasa takut matinya hilang begitu saja. Sembuh!
***
Lain lagi dengan Kyai Marwan, dari Nganjuk.
Kiai ini sudah hampir mendekati lima puluh tahun usianya, tetapi masih membujang. Keinginan untuk konsentrasi sebagai Kyai tanpa menghiraukan urusan dunia termasuk wanita, membuatnya menjadi bujang lapuk. Tapi soal kebutuhan penyaluran syahwat, tetap saja mengusik setiap hari. Apalagi kalau ia berfikir, siapa nanti yang mneneruskan pesantrennya kalau ia tidak punya putra?Dengan segala kejengkelan pada diri sendiri dan gemuruh jiwanya, akhirnya Kiai Marwan istikhoroh, mohon petunjuk kepada Allah, siapa sesungguhnya wanita yang menjadi jodohnya?Petunjuk yang muncul dalam istikhoroh, adalah agar Kyai Marwan mendatangi sebuah komplek pelacuran terkenal di daerahnya. “Disanalah jodoh anda nanti…” kata suara dalam istikhoroh itu.
Tentu saja Kyai Marwan menangis tak habis-habisnya, setengah memprotes Tuhannya. Kenapa ia harus berjodoh dengan seorang pelacur? Bagaimana kata para santri dan masyarakat sekitar nanti, kalau Ibu Nyainya justru seorang pelacur? “Ya Allah…! Apakah tidak ada perempuan lain di dunia ini?”Dengan tubuh yang gontai, layaknya seorang yang sedang mambuk, Kyai Marwan nekad pergi ke komplek pelacuran itu. Peluhnya membasahi eluruh tubuhnya, dan jantungnya berdetak keras, ketika memasuki sebuah warung dari salah satu komplek itu. Dengan kecemasan luar biasa, ia memandang seluruh wajah pelacur di sana, sembari menduga-duga, siapa diantara mereka yang menjadi jodohnya.
Dalam keadaan tak menentu, tiba-tiba muncul seorang perempuan muda yang cantik, berjilbab, menenteng kopor besar, memasuki warung yang sama, dan duduk di dekat Kyai Marwan. “Masya Allah, apa tidak salah perempuan cantik ini masuk ke warung ini?” kata benaknya.“Mbak, maaf, Mbak. Mbak dari mana, kok datang kemari? Apa Mbak tidak salah alamat?” tanya Kyai Marwan pada perempuan itu.Perempuan itu hanya menundukkan mudanya. Lama-lama butiran airmatanya mulai mengembang dan menggores pipinya. Sambil menatap dengan mata kosong, perempuan itu mulai mengisahkan perjalanannya, hingga ke tempat pelacuran ini. Singkat cerita, perempuan itu minggat dari rumah orang tuanya, memang sengaja ingin menjadi pelacur, gara-gara ia dijodohkan paksa dengan pria yang tidak dicintainya. “Masya Allah….Masya Allah…Mbak.. Begini saja Mbak, Mbak ikut saya saja. …” kata Kiai Marwan, sambil mengisahkan dirinya sendiri, kenapa ia pun juga sampai ke tempat pelacuran itu.
Dan tanpa mereka sadari, kedua makhluk itu sepakat untuk berjodoh.Tiga Kiai tersebut, sesungguhnya merupakan refleksi dari rahasia Allah yang hanya bisa difahami lebih terbuka dari dunia Sufi. Kiai Khoiron yang menjadi kiai para pelacur, sesungguhnya wujud dari kemerdekaan Sufistik pada kepribadian seseorang yang berani menerobos dinding-dinding verbalisme kultur agama, sebagaimana misteri Kyai Madun, yang harus sembuh di komplek pelacuran. Juga nasib bidadari yang ditemukan Kiai Marwan di komplek pelacuran itu. Semuanya menggambarkan bagaimana dunia jiwa, dunia moral, dunia keindahan dan kebesaran Ilahi, harus direspon tanpa harus ditimbang oleh fakta-fakta normatif sosial yang terkadang malah menjebak moral seorang hamba Allah.Sebab tidak jarang, seorang Kiai, sering mempertaruhkan harga dirinya di depan pendukungnya, ketimbang mempertaruhkan harga dirinya di depan Allah.
Dan begitulah cara Allah menyindir para Kiai, dengan menampilkan tiga Kiai Pelacur itu.

PRABU KIAN SANTANG ( SYAIKH SUNAN ROHMAT SUCI )


Pedang Prabu Kian Santang
Godog adalah suatu daerah pedesaan yang indah dan nyaman berjarak 10 km kearah timur dari kota Garut. Berada pada desa Lebakagung, kecamatan Karangpawitan, kabupaten Garut. Disana terdapat makam Prabu Kiansantang atau yang dikenal dengan sebutan Makam Godog Syeh Sunan Rohmat Suci.

Hampir setiap waktu banyak masyarakat yang ziarah, apalagi pada bulan-bulan Maulud. Prabu Kiansantang atau Syeh Sunan Rohmat Suci adalah salah seorang putra keturunan raja Pajajaran yang bernama prabu Siliwangi dari ibunya bernama Dewi Kumala Wangi. Mempunyai dua saudara yang bernama Dewi Rara Santang dan Walang Sungsang.


Prabu Kiansantang lahir tahun 1315 Masehi di Pajajaran yang sekarang Kota Bogor. Pada usia 22 tahun tepatnya tahun 1337 masehi Prabu Kiansantang diangkat menjadi dalem Bogor ke 2 yang saat itu bertepatan dengan upacara penyerahan tongkat pusaka kerajaan dan penobatan Prabu Munding Kawati, putra Sulung Prabu Susuk Tunggal, menjadi panglima besar Pajajaran. Guna mengenang peristiwa sakral penobatan dan penyerahan tongkat pusaka Pajajaran tersebut, maka ditulislah oleh Prabu Susuk Tunggal pada sebuah batu, yang dikenal sampai sekarang dengan nama Batu Tulis Bogor.


Peristiwa itu merupakan kejadian paling istimewa di lingkungan Keraton Pajajaran dan dapat diketahui oleh kita semua sebagai pewaris sejarah bangsa khususnya di Jawa Barat. Prabu Kiansantang merupakan sinatria yang gagah perkasa, tak ada yang bisa mengalahkan kegagahannya. Sejak kecil sampai dewasa yaitu usia 33 tahun, tepatnya tahun 1348 Masehi, Prabu Kiansantang belum tahu darahnya sendiri dalam arti belum ada yang menandingi kegagahannya dan kesaktiannya disejagat pulau Jawa.


Sering dia merenung seorang diri memikirkan, "dimana ada orang gagah dan sakti yang dapat menandingi kesaktian dirinya". Akhirnya Prabu Kiansantang memohon kepada ayahnya yaitu Prabu Siliwangi supaya mencarikan seorang lawan yang dapat menandinginya. Sang ayah memanggil para ahli nujum untuk menunjukkan siapa dan dimana ada orang gagah dan sakti yang dapat menandingi Prabu Kiansantang. Namun tak seorangpun yang mampu menunjukkannya.


Tiba-tiba datang seorang kakek yang memberitahu bahwa orang yang dapat menandingi kegagahan Prabu Kiansantang itu adalah Sayyidina Ali, yang tinggal jauh di Tanah Mekah. Sebetulnya pada waktu itu Sayyidina Ali telah wafat, namun kejadian ini dipertemukan secara goib dengan kekuasaan Alloh Yang Maha Kuasa.


Lalu orang tua itu berkata kepada Prabu Kiansantang: "Kalau memang anda mau bertemu dengan Sayyidina Ali harus melaksanakan dua syarat: Pertama, harus mujasmedi dulu di ujung kulon. Kedua, nama harus diganti menjadi Galantrang Setra (Galantrang - Berani, Setra - Bersih/ Suci). Setelah Prabu Kiansantang melaksanakan dua syarat tersebut, maka berangkatlah dia ke tanah Suci Mekah pada tahun 1348 Masehi.


Setiba di tanah Mekah beliau bertemu dengan seorang lelaki yang disebut Sayyidina Ali, namun Kiansantang tidak mengetahui bahwa laki-laki itu bernama Sayyidina Ali. Prabu Kiansantang yang namanya sudah berganti menjadi Galantrang Setra menanyakan kepada laki-laki itu: "Kenalkah dengan orang yang namanya Sayyidina Ali?" Laki-­laki itu menjawab bahwa ia kenal, malah bisa mengantarkannya ke tempat Sayyidina Ali.


Sebelum berangkat laki-laki itu menancapkan dulu tongkatnya ke tanah, yang tak diketahui oleh Galantrang Setra. Setelah berjalan beberapa puluh meter, Sayyidina Ali berkata, "Wahai Galantrang Setra tongkatku ketinggalan di tempat tadi, coba tolong ambilkan dulu." Semula Galantrang Setra tidak mau, namun Sayyidina Ali mengatakan, "Kalau tidak mau ya tentu tidak akan bertemu dengan Sayyidina Ali."


Terpaksalah Galantrang Setra kembali ketempat bertemu, untuk mengambilkan tongkat. Setibanya di tempat tongkat tertancap, Galantrang Setra mencabut tongkat dengan sebelah tangan, dikira tongkat itu akan mudah lepas. Ternyata tongkat tidak bisa dicabut, malahan tidak sedikitpun berubah. Sekali lagi dia berusaha mencabutnya, tetapi tongkat itu tetap tidak berubah. Ketiga kalinya, Galantrang Setra mencabut tongkat dengan sekuat tenaga dengan disertai tenaga bathin. Tetapi dari pada kecabut, malahan kedua kaki Galantrang Setra amblas masuk ke dalam tanah, dan keluar pulalah darah dari seluruh tubuh Galantrang Setra.


Sayyidina Ali mengetahui kejadian itu, maka beliaupun datang. Setelah Sayyidina Ali tiba, tongkat itu langsung dicabut sambil mengucapkan Bismillah dan dua kalimat syahadat. Tongkatpun terangkat dan bersamaan dengan itu hilang pulalah darah dari tubuh Galantrang Setra. Galantrang Setra merasa heran kenapa darah yang keluar dari tubuh itu tiba-tiba menghilang dan kembali tubuhnya sehat.


Dalam hatinya ia bertanya. "Apakah kejadian itu karena kalimah yang diucapkan oleh orang tua itu tadi?”. Kalaulah benar, kebetulan sekali, akan kuminta ilmu kalimah itu. Tetapi laki-laki itu tidak menjawab. Alasannya, karena Galantrang Setra belum masuk Islam. Kemudian mereka berdua berangkat menuju kota Mekah. Setelah tiba di kota Mekah, dijalan ada yang bertanya kepada laki-laki itu dengan sebutan Sayyidina Ali. "Kenapa anda Ali pulang terlambat?”. Galantrang Setra kaget mendengar sebutan Ali tersebut.


Ternyata laki-laki yang baru dikenalnya tadi namanya Sayyidina Ali. Setelah Prabu Kiansantang meninggalkan kota Mekah untuk pulang ke Tanah Jawa (Pajajaran) dia terlunta-lunta tidak tahu arah tujuan, maka dia berpikir untuk kembali ke tanah Mekah lagi. Maka kembalilah Prabu Kiansantang dengan niatan akan menemui Sayyidina Ali dan bermaksud masuk agama Islam. Pada tahun 1348 Masehi Prabu Kiansantang masuk agama Islam, dia bermukim selama dua puluh hari sambil mempelajari ajaran agama Islam. Kemudian dia pulang ke tanah Jawa (Pajajaran) untuk menengok ayahnya Prabu Siliwangi dan saudara-saudaranya. Setibanya di Pajajaran dan bertemu dengan ayahnya, dia menceritakan pengalamannya selama bermukim di tanah Mekah serta pertemuannya dengan Sayyidina Ali. Pada akhir ceritanya dia memberitahukan dia telah masuk Islam dan berniat mengajak ayahnya untuk masuk agama Islam. Prabu Siliwangi kaget sewaktu mendengar cerita anaknya yang mengajak masuk agama Islam. Sang ayah tidak percaya, malahan ajakannya ditolak. Tahun 1355 Masehi Prabu Kiansantang berangkat kembali ke tanah Mekah, jabatan kedaleman untuk sementara diserahkan ke Galuh Pakuan yang pada waktu itu dalemnya dipegang oleh Prabu Anggalang. Prabu Kiansantang bermukim di tanah Mekah selama tujuh tahun dan mempelajari ajaran agama Islam secara khusu. Merasa sudah cukup menekuni ajaran agama Islam, kemudian beliau kembali ke Pajajaran tahun 1362 M. Beliau berniat menyebarkan ajaran agama Islam di tanah Jawa. Kembali ke Pajajaran, disertai oleh Saudagar Arab yang punya niat berniaga di Pajajaran sambil membantu Prabu Kiansantang menyebarkan agama Islam. Setibanya di Pajajaran, Prabu Kiansantang langsung menyebarkan agama Islam di kalangan masyarakat, karena ajaran Islam dalam fitrohnya membawa keselamatan dunia dan akhirat. Masyarakat menerimanya dengan tangan terbuka. Kemudian Prabu Kiansantang bermaksud menyebarkan ajaran agama Islam di lingkungan Keraton Pajajaran.


Setelah Prabu Siliwangi mendapat berita bahwa anaknya Prabu Kiansantang sudah kembali ke Pajajaran dan akan menghadap kepadanya. Prabu Siliwangi yang mempunyai martabat raja mempunyai pikiran. "Dari pada masuk agama Islam lebih baik aku muninggalkan istana keraton Pajajaran". Sebelum berangkat meninggalkan keraton, Prabu Siliwangi merubah Keraton Pajajaran yang indah menjadi hutan belantara. Melihat gelagat demikian, Prabu Kiansantang mengejar ayahnya. Beberapa kali Prabu Siliwangi terkejar dan berhadapan dengan Prabu Kiansantang yang langsung mendesak sang ayah dan para pengikutnya agar masuk Islam. Namun Prabu Siliwangi tetap menolak, malahan beliau lari ke daerah Garut Selatan ke salah satu pantai. Prabu Kiansantang menghadangnya di laut Kidul Garut, tetapi Prabu Siliwangi tetap tidak mau masuk agama Islam.


Dengan rasa menyesal Prabu Kiansantang terpaksa membendung jalan larinya sang ayah. Prabu Siliwangi masuk kedalam gua, yang sekarang disebut gua sancang Pameungpeuk. Prabu Kiansantang sudah berusaha ingin meng Islamkan ayahnya, tetapi Alloh tidak memberi taufiq dan hidayah kepada Prabu Siliwangi.


Prabu Kiansantang kembali ke Pajajaran, kemudian dia membangun kembali kerajaan sambil menyebarkan agama Islam ke pelosok-pelosok daerah, dibantu oleh saudagar arab sambil berdagang. Namun istana kerajaan yang diciptakan oleh Prabu Siliwangi tidak dirubah, dengan maksud pada akhir nanti anak cucu atau generasi muda akan tahu bahwa itu adalah peninggalan sejarah nenek moyangnya.


Sekarang lokasi istana itu disebut Kebun Raya Bogor. Pada tahun 1372 Masehi Prabu Kiansantang menyebarkan agama Islam di Galuh Pakuwan dan dia sendiri yang mengkhitanan orang yang masuk agama Islam. Tahun 1400 Masehi, Prabu Kiansantang diangkat menjadi Raja Pajajaran menggantikan Prabu Munding Kawati atau Prabu Anapakem I. Namun Prabu Kiansantang tidak lama menjadi raja karena mendapat ilham harus uzlah, pindah dari tempat yang ramai ketempat yang sepi.


Dalam uzlah itu beliau diminta agar bertafakur untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT, dalam rangka mahabah dan mencapai kema'ripatan. Kepada beliau dimintakan untuk memilih tempat tafakur dari ke 3 tempat yaitu Gunung Ceremai, Gunung Tasikmalaya, atau Gunung Suci Garut. Waktu uzlah harus dibawa peti yang berisikan tanah pusaka. Peti itu untuk dijadikan tanda atau petunjuk tempat bertafakur nanti, apabila tiba disatu tempat peti itu godeg/ berubah, maka disanalah tempat dia tafakur, dan kemudian nama Kiansantang harus diganti dengan Sunan Rohmat. Sebelum uzlah Prabu Kiansantang menyerahkan tahta kerajaan kepada Prabu Panatayuda putra tunggal Prabu Munding Kawati. Setelah selesai serah terima tahta kerajaan dengan Prabu Panatayuda, maka berangkatlah Prabu Kiansantang meninggalkan Pajajaran.


Yang dituju pertama kali adalah gunung Ceremai. Tiba disana lalu peti disimpan diatas tanah, namun peti itu tidak godeg alias berubah. Prabu Kiansantang kemudian berangkat lagi ke gunung Tasikmalaya, disana juga peti tidak berubah. Akhirnya Prabu Kiansantang memutuskan untuk berangkat ke gunung Suci Garut. Setibanya di gunung Suci Garut peti itu disimpan diatas tanah secara tiba-tiba berubah/ godeg.


Dengan godegnya peti tersebut, itu berarti petunjuk kepada Prabu Kiansantang bahwa ditempat itulah, beliau harus tafakur untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tempat itu kini diberi nama Makam Godog. Prabu Kiansantang bertafakur selama 19 tahun. Sempat mendirikan Mesjid yang disebut Masjid Pusaka Karamat Godog yang berjarak dari makam godog sekitar kurang lebih 1 Km. Prabu Kiansantang namanya diganti menjadi Syeh Sunan Rohmat Suci dan tempatnya menjadi Godog Karamat. Beliau wafat pada tahun 1419 M atau tahun 849 Hijriah. Syeh Sunan Rohmat Suci wafat ditempat itu yang sampai sekarang dinamakan Makam Sunan Rohmat Suci atau Makam Karamat Godog.

 Arah:  Makam Godog dari Terminal Cileunyi Bandung ke Terminal Ciawitali Garut dapat  dicapai dengan waktu ± 1,5 jam Kemudian menuju lokasi dengan menggunakan angkutan kota satu kali jurusan Karangpawitan. Melalui Jalan Raya Karangpawitan ± 5,5 Km masuk ke dalam dengan menggunakan ojeg yang bertarif Rp 10.000,- sampai ke tempat parkir. Untuk mencapai lokasi makam hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki ± 20 menit dengan jarak ± 1 Km.

Selasa, 04 Desember 2012

Syech Muhyi Pamijahan jawa Barat

Wasiat Syekh Abdul Muhyi kepada putra-putri dan istri-istrinya sebelum malaikat maut menjemputnya

"Hendaklah kamu sekalian bertakwa kepada Allah, berbaktilah kepada orang tua yang telah melahirkan dan membesarkanmu, hormati dan muliakanlah tamumu, bicaralah dengan benar, senangkanlah orang lain, sekalipun kamu tidak dapat menyenangkan orang, janganlah kamu sedikit berbuat yang dapat menyusahkan orang, kasihanilah orang yang kecil hormati orang yang besar dan hargailah sesamamu,....hiduplah di dunia ini seakan mau melintasi jurang yang penuh dengan duri...."

Ulama ini cukup terkenal dalam percakapan lisan di Jawa Barat, terutama sekali mengenai keramat-keramatnya. Bahan mentah yang berupa cerita lisan masyarakat yang bercorak mitos atau legenda atau dongeng yang berbagai-bagai versi penyampaiannya lebih banyak diperoleh, jika dibandingkan dengan berupa bahan yang bertulis. Walau bagaimanapun, ada tiga buah manuskrip, iaitu nombor kelas LOr.7465, LOr 7527 dan LOr.7705, di Muzium Negeri Belanda dikatakan bahawa adalah karya Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan.

Sewaktu penulis melanjutkan tugasan mengkatalogkan manuskrip yang tersimpan di Muzium Islam Pusat Islam (BAHAEIS), 1992, maka pada manuskrip nombor kelas MI 839 di beberapa tempat ada menyebut nama Syeikh Abdul Muhyi Karang Pamijahan, seolah-olah naskhah itu dinuqil daripada ajaran ulama sufi yang tersebut. Naskhah ditulis dalam bahasa Melayu dan disalin di Pulau Pinang. Selain itu, penulis juga mempunyai sebuah karya Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan, juga dalam bahasa Melayu, yang membicarakan Martabat Tujuh.


Goa Pamijahan

ASAL USUL DAN PENDIDIKAN

Syeikh Haji Abdul Muhyi adalah salah seorang keturunan bangsawan. Ayahnya bernama Sembah Lebe Warta Kusumah, adalah keturunan raja Galuh (Pajajaran). Abdul Muhyi lahir di Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat, pada 1071 H/1660 M dan wafat di Pamijahan, Bantarkalong, Tasikmalaya, Jawa Barat, 1151 H/1738 M. Abdul Muhyi dibesarkan di Ampel, Surabaya, Jawa Timur. Pendidikan agama Islam pertama kali diterimanya daripada ayahnya sendiri dan kemudian daripada para ulama yang berada di Ampel. Dalam usia 19 tahun, ia berangkat ke Aceh untuk melanjutkan pendidikannya dan belajar dengan Syekh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri. Lebih kurang enam tahun lamanya Syeikh Abdul Muhyi belajar dengan ulama besar Aceh itu, iaitu dalam lingkungan tahun 1090 H/1679 M-1096 H/1684 M.

Tahun pembelajaran Syeikh Abdul Muhyi di Aceh kepada Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri itu, kita dapat membandingkan dengan tahun pembelajaran Syeikh Burhanuddin Ulakan yang dipercayai termasuk seperguruan dengannya.

Syeikh Burhanuddin Ulakan yang berasal dari Minangkabau itu belajar kepada Syeikh Abdur Rauf al-Fansuri bermula pada 1032 H/1622 M, tetapi tahun ini tetap masih dipertikaikan kerana riwayat yang lain menyebut bahawa ulama yang berasal dari Minangkabau itu dilahirkan pada tahun 1066 H/1655 M.

Maka kita perlu membandingkan dengan tahun kelahiran Syeikh Yusuf Tajul Khalwati dari tanah Bugis-Makasar, iaitu 1036 H/1626 M, selanjutnya keluar dari negerinya menuju ke Banten 1054 H/1644 M, seterusnya ke Aceh belajar kepada Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri juga. Selain itu, dapat juga kita bandingkan dengan tahun kehidupan Syeikh Abdul Malik (Tok Pulau Manis) Terengganu, iaitu tahun 1060 H/1650 M hingga tahun 1092 H/1681 M; Semua ulama yang tersebut dikatakan adalah murid Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri. Banyak pula ulama bercerita bahawa semua mereka termasuk Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan adalah bersahabat.

Dengan perbandingan-perbandingan tahun tersebut, dapat kita ketahui bahawa tahun-tahun itu masih bersimpangsiur, masih sukar untuk ditahqiqkan. Yang sahih dan tahqiq hanyalah mereka adalah sebagai murid Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri di Aceh. Yang lebih menarik lagi, bahawa semua mereka, kecuali Syeikh Burhanuddin Ulakan, diriwayatkan sempat belajar ke luar negeri ke Mekah, Madinah, Baghdad dan lain-lain. Termasuk Syeikh Abdul Muhyi diriwayatkan adalah murid kepada Syeikh Ibrahim al-Kurani di Mekah dan Syeikh Ahmad al-Qusyasyi di Madinah, yang kedua-dua ulama itu adalah ulama ahli syariat dan haqiqat yang paling terkenal pada zamannya.

Setelah Syeikh Abdul Muhyi lama belajar di Mekah dan Madinah, beliau melanjutkan pelajarannya ke Baghdad. Tidak jelas berapa lama beliau tinggal di Baghdad, tetapi diriwayatkan ketika beliau berada di Baghdad hampir setiap hari beliau menziarahi makam Syeikh Abdul Qadir al-Jilani yang sangat dikaguminya.

Dalam percakapan masyarakat, Syeikh Abdul Muhyi adalah termasuk keturunan/zuriat Syeikh Abdul Qadir al-Jilani, Wali Allah, Quthbul Ghauts, yang sangat terkenal itu. Riwayat yang lain diceritakan bahawa Syeikh Abdul Muhyi ke Baghdad dan Mekah adalah mengikuti rombongan gurunya, Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri. Dari Baghdad beliau kembali lagi ke Mekah dan selanjutnya kembali ke Jawa dan berkahwin di Ampel.

AKTIVITAS


Setelah selesai perkahwinan di Ampel, Syeikh Abdul Muhyi bersama isteri dan orang tuanya berpindah ke Darma, dalam daerah Kuningan, Jawa Barat. Selama lebih kurang tujuh tahun (1678 M-1685 M) menetap di daerah itu mendidik masyarakat dengan ajaran agama Islam. Kemudian berpindah pula ke daerah Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat. Di daerah itu, beliau hanya menetap lebih kurang setahun saja (1685-1686), walau bagaimanapun beliau berhasil menyebarkan agama Islam kepada penduduk yang ketika itu masih menganut agama Hindu.

Pada 1686 ayahnya meninggal dunia dan dimakamkan di kampung Dukuh, di tepi Kali Cikangan. Beberapa hari selepas pemakaman ayahnya, Syeikh Abdul Muhyi berpindah ke daerah Batuwangi. Beliau berpindah pula ke tempat yang berhampiran dengan Batuwangi iaitu ke Lebaksiuh. Selama lebih kurang empat tahun di Lebaksiuh (1686 M-1690 M), Syeikh Abdul Muhyi berhasil mengislamkan penduduk yang masih beragama Hindu ketika itu.

Menurut cerita, keberhasilannya dalam melakukan dakwah Islam terutama kerana Syeikh Abdul Muhyi adalah seorang Wali Allah yang mempunyai karamah, yang dapat mengalahkan bajingan-bajingan pengamal "ilmu hitam" atau "ilmu sihir". Di sanalah Syeikh Abdul Muhyi mendirikan masjid, tempat ia memberikan pengajian untuk mendidik para kader yang dapat membantunya menyebarkan agama Islam lebih jauh ke bahagian selatan Jawa Barat.

Kemudian Syeikh Abdul Muhyi berpindah ke satu desa, iaitu Gua Safar Wadi di Karang Pamijahan, Tasikmalaya, Jawa Barat. Perpindahannya ke Karang Pamijahan itu, menurut riwayat bahawa beliau diperintahkan oleh para Wali Allah dan perjumpaan secara rohaniah kepada Syeikh Abdul Qadir al-Jilani, supaya beliau mencari suatu gua untuk tempat berkhalwat atau bersuluk di Jawa Barat. Cerita mengenai ini banyak dibungai dengan berbagai-bagai dongeng yang merupakan kepercayaan masyarakat terutama golongan sufi yang awam.

Bagi mengimbangi cerita yang bercorak mitos itu, ada riwayat yang bercorak sejarah, bahawa Syeikh Abdul Muhyi diundang oleh Bupati Sukapura, Wiradadaha IV, R. Subamanggala untuk memerangi dan membasmi ajaran-ajaran sihir yang sesat Batara Karang di Karang Pamijahan dan di gua Safar Wadi itu. Di kedua-dua tempat tersebut adalah tempat orang-orang melakukan pertapaan kerana mengamalkan ilmu-ilmu sihirnya.

Oleh sebab Syeikh Abdul Muhyi memang hebat, beliau pula dianggap sebagai seorang Wali Allah, maka ajaran-ajaran sihir yang sesat itu dalam waktu yang singkat sekali dapat dihapuskannya. Penjahat-penjahat yang senantiasa mengamalkan ilmu sihir untuk kepentingan rompakan, penggarongan dan kejahatan-kejahatan lainnya berubah menjadi manusia yang bertaubat pada Allah, setelah diberikan bimbingan ajaran Islam yang suci oleh Syeikh Abdul Muhyi, Wali Allah yang tersebut itu.

Gua Safar Wadi pula bertukar menjadi tempat orang melakukan ibadat terutama mengamalkan zikir, tasbih, tahmid, selawat, tilawah al-Quran dan lain-lain sejenisnya. Maka terkenallah tempat itu sebagai tempat orang melakukan khalwat atau suluk yang diasaskan oleh ulama yang terkenal itu.

Disingkatkan saja kisahnya, bahawa kita patut mengakui dan menghargai jasa Syeikh Abdul Muhyi yang telah berhasil menyebarkan Islam di seluruh Jawa Barat itu. Bukti bahawa beliau sangat besar pengaruhnya, sebagai contoh Bupati Wiradadaha IV, iaitu Raden Subamanggala pernah berwasiat bahawa jika beliau meninggal dunia supaya beliau dikuburkan di sisi gurunya Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan itu. Tempat tersebut sekarang lebih dikenali dengan nama Dalem Pamijahan.

Murid-murid yang tertentu, Syeikh Abdul Muhyi mentawajjuhkannya menurut metod atau kaedah Thariqat Syathariyah yang salasilahnya diterima daripada Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri. Walaupun tarekat yang sama diterimanya juga kepada Syeikh Ahmad al-Qusyasyi, iaitu guru juga kepada Syeikh Abdur Rauf al-Fansuri, namun Syeikh Abdul Muhyi memulakan salasilahnya tetap menyebut Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri. Hal demikian kerana tarekat yang tersebut memang terlebih dulu diterimanya daripada Syeikh Abdur Rauf bin Ali al Fansuri.

Setelah beliau ke Mekah, diterimanya tawajjuh lagi daripada Syeikh Ahmad al-Qusyasyi itu. Maka berkembanglah Thariqat Syathariyah yang berasal daripada penyebaran Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri itu di tempat-tempat yang tersebut, melalui bai'ah, tawajjuh, dan tarbiyah ruhaniyah yang dilakukan oleh Syeikh Abdul Muhyi muridnya itu.

KETURUNAN

Menurut riwayat, Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan mempunyai empat isteri. Hasil erkahwinannya itu, beliau memperoleh seramai 18 anak. Menerusi Raden Ayu Bakta, memperoleh anak bernama Kiyai Haji Muhyiddin atau digelar Dalem Bojong. Namun menurut Aliefya M. Santrie, dalam buku Warisan Intelektual Islam Indonesia, setelah beliau pulang dari Pamijahan beliau menemukan satu artikel dalam majalah Poesaka Soenda yang menunjukkan bahawa tidak identiknya Kiyai Haji Muhyiddin dengan Dalem Bojong.

Kedua-duanya memang anak Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan, tetapi Kiyai Haji Muhyiddin personaliti tersendiri dan Dalem Bojong personaliti yang lain pula. Menurutnya makam Kiyai Haji Muhyiddin dalam majalah itu disebut namanya yang lain, iaitu Bagus Muhyiddin Ajidin, terletak di sebelah selatan makam Syeikh Abdul Muhyi, sedang makam Dalem Bojong terletak di sebelah timur.

Barangkali keturunan Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan itu sangat ramai yang menjadi ulama di daerah Jawa Barat, sewaktu penulis berulang-alik di Pondok Gentur, Cianjur (1986 M-1987 M) difahamkan bahawa Kiyai Haji Aang Nuh di pondok pesantren adalah termasuk keturunan Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan. Penulis sendiri menerima beberapa amalan wirid dari kiyai itu dan ternyata memang terdapat hadiah al-Fatihah untuk Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan dan beberapa ulama lainnya untuk memulakan amalan.

Dari Kiyai Haji Aang Nuh juga, penulis mendengar cerita-cerita yang menarik mengenai Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan. Sampai sekarang Pondok pesantren Gentur dikunjungi mereka yang mempunyai permasalahan yang sukar diselesaikan dari seluruh Indonesia, tempat itu sentiasa ramai kerana doa kiyai itu dianggap mustajab.

Di Pondok-pesantren Gentur itu tidak mengajar disiplin ilmu sebagai pondok-pesantren lainnya, di situ hanya mengajar amalan-amalan wirid terutama selawat atas Nabi Muhammad. Penulis sempat mewawancara pengunjungnya, menurut mereka wirid atau amalan yang diterima dari kiyai itu terbukti mustajab.

PENYELIDIKAN ILMIYAH


Oleh sebab kepopularan ulama yang dianggap Wali Allah ini, beberapa sejarawan, budayawan dan lain-lain telah berusaha menyelidiki biografi ulama yang berasal dari Pulau Lombok itu. Di antara mereka umpamanya seorang Belanda, Snouck Hurgranje, pernah mengembara di Jawa Barat dan di Sukabumi menemukan beberapa naskhah karya yang dibangsakannya kepada karya Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan.

R. Abdullah Apap ibn R. Haji Miftah menyusun sebuah buku berjudul, Sejarah Pamijahan: Kisah Perjuangan Syeik Haji Abdulmuhyi Mengembangkan Agama Islam di Sekitar Jabar. Aliefya M. Santrie menulis artikel Martabat (Alam) Tujuh Suatu Naskah Mistik Islam Dari Desa Karang, Pamijahan. Dan ramai lagi tokoh yang membuat kajian mengenai ulama yang dibicarakan ini.

Khas mengenai artikel Aliefya M. Santrie yang lebih menjurus kepada pengenalan ajaran Martabat Tujuh versi Kiyai Haji Muhyiddin yang ditulis dengan huruf pegon. Setelah penulis teliti dan membanding dengan naskhah yang ada pada penulis yang ditulis dalam bahasa Melayu/Jawi, yang juga tercatat sebagai karya Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan, memang banyak persamaan.

Demikian juga dengan manuskrip koleksi Muzium Islam Pusat Islam Malaysia nombor kelas MI 839, membicarakan Martabat Tujuh yang merupakan nukilan karya Syeikh Abdul Muhyi itu.

Sungguhpun demikian perlu kita ketahui bahawa ajaran Martabat Tujuh sebenarnya bukanlah ciptaan Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan tetapi yang pertama membicarakan ajaran itu ialah dalam kitab bahasa Arab berjudul Tuhfatul Mursalah karya Syeikh Muhammad bin Fadhlullah al-Burhanpuri. Kitab tersebut disyarah oleh Syeikh Abdul Ghani an-Nablusi.

Martabat Tujuh dalam bahasa Melayu selain yang dibicarakan oleh Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan juga banyak, dimulai oleh ulama-ulama tasawuf di Aceh, diikuti oleh Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari dengan Ad-Durrun Nafisnya, Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani juga membicarakannya dalam Siyarus Salikin, Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani dalam Manhalus Shafi dan ramai lagi.

Oleh itu, perkembangan ilmu tersebut di dunia Melayu tumbuh subur, tak ubahnya seperti perkembangan ilmu tauhid metode sifat 20 dan fiqh menurut Mazhab Syafie pada zaman itu.

Sebagai menutup artikel ini, perlu juga penulis sebutkan sungguhpun Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan terkenal di seluruh Jawa Barat tetapi riwayat hidupnya hampir-hampir tak dikenal di dunia Melayu lainnya. Oleh itu, artikel ini adalah satu usaha memperkenalkannya yang disejajarkan dengan ulama-ulama terkenal yang lain, yang hidup sezaman dengannya, iaitu Syeikh Abdul Malik Terengganu Syeikh Burhanuddin Ulakan, Syeikh Yusuf Khalwati, Syeikh Abdur Rahman Pauh Bok al-Fathani dan ramai lagi. 
http://shoeap.blogspot.com/2010/06/syeikh-haji-abdul-muhyi-pamijahan.html

Sebuah Arti Tahun Naga

Dari 12 simbol yang mengejawantahkan sistem penanggalan Tionghoa, yang menjadi bagian penting dalam sistem kehidupan orang China di mana saja, hanya naga yang tak memiliki representasi binatang sesungguhnya. Ini yang menyebabkan Tahun Naga menjadi istimewa dibandingkan dengan shio lain dalam penanggalan China.
Walaupun sistem kepercayaan Tionghoa ini selalu menyambut kehadiran Tahun Naga sebagai energi kehidupan, baik dari zaman dulu sampai era modern dewasa ini, banyak orang, mulai dari tokoh politik, intelektual, sampai rakyat jelata merasa khawatir dengan kehadiran naga air ini.
Energi kehidupan naga air yang didasarkan pada kepercayaan geomansi (feng shui dalam bahasa Mandarin), astronomi, dan kearifan kepercayaan rakyat, selalu mengacu pada berbagai perubahan setiap kali memasuki siklus Tahun Naga. Tahun Naga menjadi simbol perubahan atau setidaknya menghadirkan sebuah perubahan besar.
Berbeda dengan mitologi Barat yang menggambarkan naga yang harus dibunuh, seperti dalam cerita Siegfried dalam literatur Nibelungenlied, dalam astrologi China binatang naga menjadi simbol utama keberuntungan yang baik. Dalam konstelasi rasi bintang, naga diposisikan sebagai binatang nonbumi yang dihormati sebagai penjaga langit timur.
Dalam tradisi Tionghoa, naga disimbolkan mampu memberikan empat berkah dari timur, yakni kekayaan, panjang umur, harmoni, dan kebajikan. Dalam konteks ini, orang Tionghoa berharap sesuatu yang besar terjadi pada Tahun Naga Air, baik keberhasilan maupun kegagalan.
Untuk bisa memahami besaran yang dikandung Tahun Naga Air, refleksi yang terjadi pada tahun 1952 ketika Naga Air muncul kembali dalam siklus penanggalan Tionghoa, peristiwa yang terjadi atau perubahan besar yang ada mengikutinya, antara lain, sebagai berikut.
Bulan Februari 1952, Elizabeth II menjadi Ratu Inggris. Pemerintahannya masih berlanjut hingga hari ini sebagai prestasi umur panjang.
Pada tahun yang sama, bulan November, drama Mousetrap yang diangkat dari karya Agatha Christie dibuka di London dan menjadi rekor produksi drama terpanjang dalam sejarah yang pernah ada.
Naga Air tahun 1952 juga mencatat diperkenalkannya dua senjata paling merusak dalam sejarah, yakni bom hidrogen dan pengebom B-52 sebagai pesawat pembunuh dalam Perang Vietnam.
Naga Air 2012, bagi China, juga akan menghadirkan perubahan. Pada musim semi tahun ini, Republik Rakyat China (RRC) akan memiliki pemimpin baru, sebagai pergantian yang keempat kali kepemimpinan negara dengan penduduk terbesar di dunia sejak Partai Komunis China (PKC) berkuasa tahun 1949. Pergantian ini dipastikan akan menjadi persaingan politik yang ketat di kalangan elite PKC.
Ilmuwan China meyakini Tahun Naga selalu membawa perubahan besar yang mengubah China ataupun dunia, seperti tecermin pada tahun 1976, 1988, dan 2000. Naga menjadi sangat simbolis dalam kehidupan sehari-hari yang melekat pada ketionghoaan, termasuk bagi orang komunis yang berkuasa di PKC, karena kerja budaya politik China memang sudah melekat dalam siklus ribuan tahun itu.
Tahun 1976, misalnya, merepresentasikan perubahan sangat penting dalam sejarah modern China. Tahun itu, pemimpin revolusioner Mao Zedong dan Zhou Enlai meninggal dunia, termasuk pemimpin militer paling kuat dalam sejarah China, Zhu De. Tahun yang sama, Kelompok Empat pimpinan Jiang Qing (istri Mao) dijatuhkan dari kekuasaan dan dua tahun kemudian membuka jalan bagi konsep kaige kaifang (reformasi dan keterbukaan) yang menjadikan China sebagai negara besar dan kuat.
Denominator
Dalam konteks ini, kita perlu memahami sistem kepercayaan Tionghoa melalui penanggalan yang berusia lebih dari 3.000 tahun sebagai tradisi, yang dipertahankan turun-temurun dan dipercaya mampu memberikan arti yang menjadikan orang Tionghoa sebagai bangsa yang besar dan kuat.
Mereka yang tidak bisa melihat makna sistem kepercayaan Tionghoa dalam berbagai perubahan ini condong melihat perubahan dalam perspektif horizontal sehingga tidak merasakan adanya perubahan besar. Kepercayaan dan adat istiadat harus dilihat secara vertikal untuk mampu mengartikan perubahan besar dalam sistem penanggalan Tionghoa.
Memang tidak mudah membagi secara sederhana sistem kepercayaan dan adat istiadat sehingga sulit mendamaikan perbedaan-perbedaan Timur-Barat, seperti halnya menyederhanakan Kristen, Konfusianis, ataupun komunisme. Melakukan reduksi atas istilah dalam filsafat sederhana seperti kapitalisme, liberalisme, atau Marxisme memang menjadi lebih sulit untuk mengukur perspektif Tahun Naga Air.
Gilbert Rozman dalam buku In The East Asian Region: Confucian Heritage and Its Modern Adaptation (1991) menulis perbedaan yang melekat antara budaya Timur dan Barat, merupakan kemungkinan hasil dari pemisahan paksa karena geografi dan konsekuensi dari kontak terbatas selama ribuan tahun.
Berbagai perubahan yang terjadi di daratan China serta belahan-belahan Asia lain merupakan konsekuensi faktor sejarah yang bertahan terus-menerus. Konteks ini yang menjelaskan perubahan besar Tahun Naga sebagai elemen denominator yang mengabaikan batas-batas nasional. (Sumber Kompas Com)